Definisi Bid’ah
Pembaca yang budiman, para ulama ketika mendefinisikan sesuatu, mereka selalu membawakan definisi dari sisi bahasa dan istilah. Karena makna syar’i bila bertentangan dengan makna lughawi (bahasa), maka lebih didahulukan makna syar’I sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Contohnya adalah sholat, secara bahasa artinya do’a, dan secara istilah syari’at artinya perbuatan dan perkataan yang khusus yang dimulai dengan takbirotul ihram dan di akhiri dengan salam.
Bila ada orang yang berpendapat bahwa orang yang berdo’a sudah mencukupinya sehingga tidak perlu sholat lagi, dengan alasan bahwa sholat secara bahasa artinya do’a. tentu pendapat ini sangat batil, karena yang dimaksud dengan sholat yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya adalah sholat dengan tata cara yang telah kita ketahui bersama.
Demikian pula bid’ah, makna bid’ah secara bahasa tidak boleh dibawa kepada makna bid’ah secara istilah syari’at, namun ia berhubungan sebagaimana akan kita jelaskan.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Bid’ah ada dua macam: bid’ah syari’at seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkataan umar bin Khaththab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih :”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”.[1]
Dan yang harus difahami adalah bahwa Allah dan Rosul-Nya selalu menyampaikan syari’at ini dengan makna syari’at, seperti bila Allah dan Rosul-Nya menyebutkan sholat, maka maknanya adalah perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam. demikian pula kata bid’ah, bila diucapkan oleh pemilik syari’at maka harus dibawa kepada makna syari’at, bukan makna bahasa.
Bid’ah secara bahasa.
Secara etimologi, bid’ah artinya setiap perkara baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ.
“Allah pencipta langit dan bumi (tanpa contoh)”. (QS Al Baqarah : 117).[2]
Makna secara bahasa ini mencakup perkara dunia dan akhirat, sehingga dapat kita katakan bahwa mobil, kereta, pesawat, handphone, ilmu mushtolah hadits dan lain-lain adalah bid’ah secara bahasa, karena tidak ada contoh sebelumnya. Namun sesuatu yang menurut bahasa bid’ah, belum tentu secara istilah dianggap bid’ah.
Bid’ah secara istilah.
Memang tidak ada dalam Al Qur’an dan assunnah nash yang menyebutkan definisi bid’ah secara istilah syari’at, akan tetapi para ulama memberikan definisi setelah mengumpulkan nash-nash syari’at.
Para ulama berbeda-beda ungkapan dalam mendefinisikan bid’ah. Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam riwayat Ar Rabie’ berkata :” Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi al qur’an, atau sunnah, atau atsar para shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “.[3]
Asy Syathibi rahimahullah berkata,” Bid’ah adalah sebuah tata cara dalam agama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’at yang maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala”.[4]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,” Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap yang diadakan dari apa-apa yang tidak ada asalnya dalam syariat yang menunjukkan kepadanya, adapun bila ada asal (dalil) syari’at yang menunjukkan kepadanya maka bukanlah bid’ah secara syari’at walaupun dianggap bid’ah secara bahasa”.[5]
As suyuthi rahimahullah berkata,”Bid’ah adalah ungkapan tentang perbuatan yang bertabrakan dengan syari’at dengan cara menyelisihinya atau melakukannya dengan cara menambah atau mengurangi”.[6]
Dari definisi para ulama di atas dapat kita simpulkan dalam beberapa poin :
1. Ruang lingkup bid’ah secara istilah hanya terbatas dalam masalah agama (ibadah), ini di tunjukkan oleh definisi As Syathibi. Bid’ah inilah yang maksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat.
Maka keluar dari batasan “agama” adalah masalah yang bersifat duniawi. Mengapa demikian ? karena dalil-dalil syari’at menunjukkan bahwa pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi adalah halal dan suci, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala QS Al Baqarah ayat 29 :
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan untukmu semua yang ada di bumi ini”.
Redaksi ayat ini dalam rangka imtinan (mengungkit kenikmatan) dan imtinan pastilah dengan sesuatu yang mubah dan halal.
Dalam Hadits Muslim dari ‘Aisyah, Tsabit dan Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan (bunga kurma), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.” Kalau kamu tidak lakukan itu, ia tetap akan bagus”. Maka pohon kurma itu mengeluarkan buah yang jelek. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan bersabda,”Ada apa dengan pohon kurma kalian ? Mereka berkata,” Engkau mengatakan begini dan begitu “. Beliau bersabda :
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمْرِ دُنْيَاكُمْ.
“Kamu lebih mengetahui urusan dunia kalian “.[7]
Maka urusan menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, demikian juga pensyari’atan ibadah, serta penjelasan jumlah, tata cara dan waktunya, dan peletakan kaidah-kaidah umum dalam mu’amalat hanya berasal dari Allah dan Rosul-Nya, bukan urusan ulil amri dari kalangan ulama ataupun umara’. Kita dan mereka setara dalam masalah ini, maka segala perselisihan dalam urusan ini tidak boleh dikembalikan kepada mereka, namun harus dikembalikan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Adapun untuk urusan dunia mereka lebih faham dari kita, para ahli pertanian lebih mengetahui apa yang dapat memperbaiki dan meningkatkan kwalitasnya, apabila mereka mengeluarkan sebuah perintah yang berhubungan dengan pertanian, maka kewajiban umat adalah mentatati mereka. Demikian juga ahli perniagaan dan ekonomi ditaati dalam urusan yang berhubungan dengannya.
Kembali kepada ulil amri dalam kemashlahatan umum sama dengan kembali kepada para dokter dalam mengetahui obat yang berbahaya agar tidak dikonsumsi dan obat yang bermanfaat agar dapat digunakan.
Namun ini bukan berarti dokter yang menghalalkan kepada kita yang bermanfaat dan mengharamkan yang berbahaya, akan tetapi ia hanya sebagai pembimbing saja. Yang menghalalkan dan mengharamkan hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya :
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ.
“(Allah) Yang menghalalkan untuk mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk”. (QS Al A’raaf : 157).[8]
(Lanjut…. Hal. 2)